Entah kapan dan siapa yang memulai, 'marah' menjadi trend prilaku politik sejumlah pemimpin daerah; Walikota atau Gubernur saat ini. Sudah sedemikian parahkah prilaku buruk
masyarakat kita atau akutnya penyakit bangsa saat ini hingga memang segala
sesuatunya harus dituntaskan dengan marah-marah. Blusukan ala jokowian yang
kerap dilakukan oleh para pemimpin daerah saat ini memang selalu berbuah respon
terhadap masalah yang ditemui dilapangan. Dan respon itu terekspresikan dengan memarahi
warga atau bawahan pejabat setempat yang dinilai ‘bermasalah’.
Sikap marah dalam situasi,
kondisi dan porsi yang tepat bisa jadi merupakan suatu kepatutan dan kepantasan.
Namun sikap marah yang hanya ikut-ikutan dari trendi yang menggejala tak lain
dari sikap ke-lebay-an seorang pemimpin daerah. Memarahi rakyat secara
langsung tidaklah proporsional oleh seorang pejabat sekelas wali kota apalagi
gubernur. Masih ada aparatur pemda dibawahnya yang harus diberdayakan dan
dimaksimalkan perannya untuk mengurusi persoalan yang memang harusnya menjadi
tanggung jawabnya. Blusukan memang diperlukan bahkan wajib dilakukan oleh
seorang kepala daerah untuk mengetahui persoalan riil dilapangan,. Namun bukan
berarti harus mengambil tindakan eksekusi langsung dengan marah-marah. Masih
banyak cara lain yang lebih pantas dilakukan.Teguran langsung yang mendidik bisa
jadi lebih pantas dilakukan.
Marah-marah pemimpin sekelas wali
kota atau Gubernur sejatinya adalah sikap tegasnya terhadap berbagai
praktek-praktek mafia berkelas, korupsi para pejabat, dan berbagai praktek
kemungkaran yang sudah dilembagakan. Brantas praktek-praktek perjudian,
prostitusi, dan miras ala tempat-tempat hiburan. Keberanian pemimpin daerah
dalam mengambil sikap politik inilah sikap marah yang sebenarnya. Marah yang
berkelas.
No comments:
Post a Comment