Membaca artikel kompas tanggal 22
Februari 2014 “Ghettoissme Pendidikan”, tulisan Doni Koesoema cukup menarik
saya, menjawab kegelisahan saya selama ini bahwa menjamurnya formalism agama di
lembaga-lembaga pendidikan umum sepertinya menyimpan malasah.
Berikut petikan dari bagian
tulisan tersebut, “Ghetto merupakan istilah yang digunakan untuk mengisolasi
kehidupan kelompok minoritas karena alasan sosial, hukum ataupun tekanan
ekonomi. Ghetto dalam bahasa Venessia artinya ‘sampah’, tempat khusus di mana
orang sepulau membuang sampah di garis batas tertentu sehingga terdapat
pemisahan tegas Yahudi dan non-Yahudi.
Ghettoisme pendidikan banyak
dipraktikan di sekolah-sekolah negeri.
Bahkan praktik ini diatur dalam aturan sekolah. Sekolah negeri yang dibiayai
pemerintah justru melakukan dan menyuburkan praksis pendidikan yang
bertentangan dengan Bhineka Tunggal Ika. Contoh nyata kegiatan keagamaan setiap
pagi sebelum pelajaran di mulai.”
Sekolah negeri umum harusnya
lebih menampilkan sosok atau rasa nasionalisme dari pada ideologis/agamis.
Sekolah yang agamis sudah jelas basisnya yaitu madrasah atau pesantren. Maka
jika sekolah negeri umum ikut-ikutan mengatur praksis formalisme agama, hemat
saya suatu kebablasan namanya. Contoh, seragam busana muslim tiap hari Jum’at
di sekolah-sekolah umum negeri SD/SMP tertentu. Praktik seperti ini tidak
mencerminkan kita sebagai bangsa yang berbhineka, justru menanamkan kepada
anak-anak kita sifat-sifat fanatisme sempit sejak dini. Hal ini akan
menyuburkan ego kelompok bukan toleransi.
No comments:
Post a Comment